Makam keramat Sapuro Kota Pekalongan yang lokasinya dekat
dengan jalur pantura ini laksana magnet bagi masyarakat Kota Batik
Pekalongan dan sekitarnya. Komplek pemakaman umum kelurahan Sapuro ini
menjadi salah satu tujuan wisata religius di karenakan di komplek
pemakaman ini terdapat makam Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Tholib Al
Athas, seorang tokoh penyebar agama Islam di Kota Pekalongan dan
sekitarnya. Apalagi setiap hari kamis sore sampai hari jum’at,komplek
pemakaman ini penuh sesak dengan para peziarah yang datang dari berbagai
penjuru kota di Indonesia. Lokasi makam Habib Ahmad bin Abdullah
binThalib Al Athas ini sangat mudah di jangkau karena tempatnya sangat
strategis. Yakni kurang lebih 100 meter dari jalan Jendral Sudirman.
Sekitar 5oo meter dari perempatan Ponolawen ke arah timur, atau sekitar 2
kilometer ke arah barat dari Terminal induk Kota Pekalongan.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Al Athas.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Al Athas.
Al Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Alathas di lahirkan di
kota Hajren Hadramaut Yaman pada tahun 1255 hijriyah atau tahun 1836
masehi. Beliau menghabiskan masa remajanya untuk menimba ilmu agama di
kota asalnya. Beragam disiplin ilmu agama berhasil beliau raih dengan
gemilang. Setelah Habib Ahmad muda menguasai Al Qur’an dan banyak
mendalami ilmu-ilmu agama di daerah asalnya, beliau melanjutkan menuntut
ilmu kepada para pakar dan ulama-ulama terkenal yang mukim di Mekkah al
Mukaromah dan Madinah Al Munawwaroh. Sekalipun banyak mendapat tempaan
ilmu dari banyak guru di kedua kota suci ini, namun guru yang paling
utama dan paling besar pengaruhnya bagi pribadi Habib Ahmad adalah As
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Assayyid Ahmad Zaini Dahlan adalah seorang
pakar ulama yang sangat banyak muridnya di Mekkah al Mukarromah maupun
di negara-negara lainnya. Banyak ulama-ulama dari Indonesia yang juga
berguru kepada Assayyid Ahmad Zaini Dahlan. Seperti, Hadrotul Fadhil
Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari
Jombang Jawa Timur. Kedua ulama ini adalah cikal bakal jamiyyah
Nahdlotul Ulama. Setelah selesai dan luluis menempuh pendidikan dan
latihan, terutama latihan kerohanian secara mendalam, Habib Ahmad
mendapat tugas dari gurunya untuk berdakwah menyebarkan syariat agama
Islam di kota Mekkah. Dikota kelahiran Nabi Saw ini, Habib Ahmad sangat
dicintai dan di hormati oleh segala lapisan masyarakat, karena Habib
Ahmad berusaha meneladani kehidupan Rosulallah Saw. Habib Ahmad mengajar
dan berdakwah di kota Mekkah sekitar tujuh tahun. Setelah itu beliau
pulang ke kampung kelahiran beliau,Hadramaut. Tidak lama mukim di kota
kelahirannya, Habib Ahmad merasa terpanggil untuk berdakwah di Asia
Tenggara. Dan pilihan beliau jatuh ke Indonesia. Karena memang pada
waktu itu sedang banyak-banyaknya imigran dari Hadramaut yang datang ke
Indonesia. Di samping untuk berdagang juga untuk mensyiarkan ajaran
Islam. Setibanya Habib Ahmad di Indonesia,beliau memilih tinggal di
Pekalongan Jawa Tengah. Karena Habib Ahmad melihat kondisi keagamaan di
Pekalongan yang masih sangat minim. Dan saat pertama menginjakkan
kakinya di Pekalongan, Habib Ahmad melaksanakan tugas sebagai imam di
Masjid Wakaf yang ada di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya). Dari
Masjid Wakaf inilah Habib Ahmad memulai dakwah Islamiyyahnya. Dari
pengajian kitab-kitab fiqih, pembacaan daiba’i, barzanji, pembacaan
wirid,dzikir dan lain sebagainya. Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib
Alathas juga dikenal sebagai ulama hafidz ( penghafal al Qur’an), Habib
Ahmad adalah seorang ulama yang selalu tampil dengan rendah hati
(tawadhu),senang bergaul dan gemar bersilaturrohim dengan siapa saja.
Habib Ahmad paling tidak senang,bahkan marah kalau ada yang
mengkultuskan dirinya. Kendati demikian, Habib Ahmad tidak dapat
mentolerir terhadap hukum-hukum dari Allah dan Rosul-Nya yang di
remehkan oleh orang lain. Habib Ahmad sangat teguh dan keras memegang
syariat Islam,seperti masalah amar ma’ruf nahi mungkar. Pada zamannya
dahulu, Habib Ahmad ibarat Kholifah Umar bin Khothob yang sangat tegas
dan keras menentang setiap kemungkaran. Tidak peduli yang berbuat
mungkar itu pejabat maupun orang awam. Satu contoh, para wanita tidak
akan berani lalu lalang di depan kediaman Habib Ahmad kalau tidak
mengenakan tutup kepala (kerudung). Kalau ketahuan oleh Habib Ahmad
pasti langsung kena teguran. Tidak peduli wanita muslim ataupun non
muslim. Menjelang akhir hayatnya, Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib
Alathas mengalami patah tulang pada pangkal pahanya,akibat jatuh hingga
beliau tidak sanggup berjalan. Sejak saat itu beliau mengalihkan semua
kegiatan keagamaannya di kediamannya, termasuk sholat berjamaah dan
pengajian. Penderitaan ini berlanjut sampai beliau di panggil pulang ke
Ramatullah. Habib Ahmad Bin A bdullah Bin Thalib Alathas meninggal dunia
pada malam ahad 24 rajab 1347 hijriyyah atau tahun 1928 masehi. Habib
Ahmad meninggal dunia dalam usia 92 tahun. Walaupun Habib Ahmad
meninggal dunia pada tanggal 24 rajab, akan tetapi acara khaulnya di
peringati setiap tanggal 14 sya’ban, bertepatan dengan malam nisyfu
sya’ban.
Masjid Sapuro Didirikan Sejak 294 Tahun Lalu
Penyebaran agama islam di Pekalongan sudah berlangsung sejak
ratusan tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya situs bersejarah di
Kelurahan Sapuro, Pekalongan Barat, yakni Masjid Jami’ Aulia yang
hingga kini masih berdiri tegak di tengah pemakaman umum Sapuro. Didepan
pintu masjid terdapat prasasti bertuliskan huruf arab yang terbuat dari
kayu. Penyebaran agama islam di Pekalongan sudah berlangsung sejak
ratusan tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya situs bersejarah di
Kelurahan Sapuro, Pekalongan Barat, yakni Masjid Jami’ Aulia yang
hingga kini masih berdiri tegak di tengah pemakaman umum Sapuro. Didepan
pintu masjid terdapat prasasti bertuliskan huruf arab yang terbuat dari
kayu. Diperkirakan umur masjid tersebut saat ini mencapai 294 tahun.
Hal ini dibuktikan dari prasasti yang bertuliskan pada tahun 1135 H
measjid itu didirikan. Saat ini sudah memasuki 1429 H. bentuk bangunan
masjid itu cukup sederhana. Temboknya bercorak arsitektur Timur Tengah
dengan tiga pintu besar dari kayu. Sementara ruang utamanya mengacu pada
tradisi Jawa dengan menggunakan empat saka guru yang semuanya
menggunakan kayu jati. Untuk memperkokoh bangunan tersebut dilengkapi
dengan penyangga dari batu. Kono, kayu – kayu untuk bengunan masjid itu
berasal dari sisa pembangunan Masjid Demak masa Walisongo. Sedangkan
mimbar untuk khotbah berornamen ukir-ukiran lengkap dengan trap tangga
yang merupakan hadiah dari Sunan Kalijaga. Pengelola Masjid Sapuro, Kiai
Dananir mengungkapkan ada empat ulama asal Demak yang menyebarkan islam
diwilayah Pantura yakni Kyai Maksum, Sulaiman, Lukman dan Nyai Lindung.
“Keempat ulama itu membangun masjid di sekitar Alas Roban, Batang.
Bahkan fondasi bangunan dan tempat wudhu saat itu sudah dibuat,”ucapnya.
Dikatakan, mereka berempat mendapat petunjuk dari Allah bahwa nantinya tempat tersebut tak akan ada penghuninya.& ldquo;Pada akhirnya mereka menemukan tempat di Sapuro,” imbuh penjaga masjid, Fauzan. Beberapa waktu setelah itu masjid tersebut dikelola dari generasi ke generasi sampai akhirnya dinamai Masjid Aulia Sapuro. Karena usia masjid cukup tua, akhirnya diberitahukan ke pemerintah pusat melalui dinas pengelolaan museum dan kepurbakalaan, oleh tokoh masyarakat sekitar yakni Basyari Hambali dan Mochmad Aswantari. Sampai sekarang peninggalan itu masih bisa dijumpai di Sapuro, yang di lokasi yang sama juga terdapat Makam Syekh Habib Ahmad yang terus dikunjungi warga masyarakat dari berbagai belahan penjuru Indonesia , termasuk juga dari Timur Tengah. Peringatan Haul Tahunan di sana juga kerapkali dihadiri ulama dari Mesir yang juga merupakan keturunan dari Syekh Habib Ahmad. Makam Sapuro yang memiliki daya magnet dengan didatangi ribuan warga, membuat taraf perekonomian di lingkungan sana bertambah dengan berbagai fasilitas yang dipersiapkan untuk para peziarah, seperti penginapan, aneka aksesoris batik dan lain sebagainya.
Dikatakan, mereka berempat mendapat petunjuk dari Allah bahwa nantinya tempat tersebut tak akan ada penghuninya.& ldquo;Pada akhirnya mereka menemukan tempat di Sapuro,” imbuh penjaga masjid, Fauzan. Beberapa waktu setelah itu masjid tersebut dikelola dari generasi ke generasi sampai akhirnya dinamai Masjid Aulia Sapuro. Karena usia masjid cukup tua, akhirnya diberitahukan ke pemerintah pusat melalui dinas pengelolaan museum dan kepurbakalaan, oleh tokoh masyarakat sekitar yakni Basyari Hambali dan Mochmad Aswantari. Sampai sekarang peninggalan itu masih bisa dijumpai di Sapuro, yang di lokasi yang sama juga terdapat Makam Syekh Habib Ahmad yang terus dikunjungi warga masyarakat dari berbagai belahan penjuru Indonesia , termasuk juga dari Timur Tengah. Peringatan Haul Tahunan di sana juga kerapkali dihadiri ulama dari Mesir yang juga merupakan keturunan dari Syekh Habib Ahmad. Makam Sapuro yang memiliki daya magnet dengan didatangi ribuan warga, membuat taraf perekonomian di lingkungan sana bertambah dengan berbagai fasilitas yang dipersiapkan untuk para peziarah, seperti penginapan, aneka aksesoris batik dan lain sebagainya.